Screenshot_2024-12-08-17-04-37-78_a27b88515698e5a58d06d430da63049d
Home » Uncategorized » Perjalanan Wisata Puisi 3M; Mesir, Madinah, Mekah (Bagian.3): Catatan Hening Wicara

Perjalanan Wisata Puisi 3M; Mesir, Madinah, Mekah (Bagian.3): Catatan Hening Wicara

‘Egypt is the gift of the Nile’. Mesir adalah hadiah sungai Nil. (Herodotus, Sejarawan Yunani).

Sungai Nil adalah tujuan kami selanjutnya pada senja kedua di Mesir, seusai kami mengunjungi mesjid Amr bin Ash di sore harinya. Saat matahari mulai beranjak meninggalkan singgasana, bis kami berhenti di tepi sungai cantik itu.

Cuaca yang tadinya terik berubah menjadi sejuk, sesejuk wajah-wajah peserta Wisata Puisi yang takjub menyaksikan keindahan panorama senja di sungai terpanjang dunia. 

Sungai Nil membentang lebih dari 6.650 km antara danau Victoria hingga bermuara di laut Mediterania. Nil lebih identik dengan Mesir, meskipun alirnya berliku melewati 9 negara: Mesir, Sudan, Ethiopia, Tanzania, Uganda, Kenya, Rwanda, Burundi, dan Kongo.

Sungai Nil berperan besar bagi Mesir selama ribuan tahun. Pasang surut dan limpah ruah airnya telah menghadiahkan lumpur subur yang menyulap Mesir menjadi ladang peradaban.

Senja itu, rombongan Wisata Puisi berjalan bersama menuju kapal pesiar yang bersandar di tepian sungai Nil, di bawah langit keemasan yang menghias cakrawala. Seolah Nil turut bergembira menyambut kedatangan rombongan Wisata Puisi dari negeri berbunga.

 

Di atas kapal pesiar itu kami merasakan perpaduan unik antara petualangan dan relaksasi. Suasana di dalamnya begitu tenang dan nyaman dengan fasilitas lengkap. Ada restoran yang menyajikan masakan khas Mesir. Juga ada lounge, tempat penumpang dapat merasakan embusan angin yang membelai wajah sungai, sambil menikmati indahnya panorama di sepanjang aliran sungai legendaris itu.

 

Selain itu, kami juga disuguhi kesenian khas budaya Mesir sebagai pertunjukan andalan di kapal-kapal pesiar yang melayari sungai Nil, yaitu: tari perut dan tari sufi.

Tari perut dibawakan oleh seorang wanita cantik, berwajah Arab. Kulitnya putih bersih, usianya tidak muda juga tidak tua. Tubuhnya tidak langsing juga tidak gendut.

Gerakan tubuhnya lincah gemulai berbalut kostum hijau minimalis, yang memperlihatkan perut ratanya.

Dalam sejarahnya, tarian ini bermakna sakral. Tari Perut Mesir diperkirakan sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Hal itu tercatat dalam manuskrip Mesir Kuno yang terpampang di museum nasional Mesir.

Hanya saja dulunya tari perut tidak untuk dikonsumsi kaum adam. Tarian ini awalnya dimaksudkan sebagai tari persembahan pada Dewi Kesuburan yang dilakukan oleh kaum hawa dalam ritual upacara menjelang pernikahan dan kelahiran pada jaman Mesir kuno.

Masuknya Islam yang damai tidak menghilangkan tradisi tari perut, hanya menggeser persepsinya. Pemisahan batas persinggungan antara laki-laki dan

perempuan menjadikan tari perut sebagai simbol kebudayaan eksklusif salah satu gender. Tari ini kemudian menjadi praktik jamak dalam pergaulan untuk merayakan kebebasan tubuh perempuan tanpa takut diusik laki-laki. Tari perut menjadi semacam pesta bagi perempuan Timur Tengah di masa lampau.

Semuanya berubah ketika Timur Tengah mulai diekspose oleh bangsa Barat. Gelombang kedatangan Prancis ke Aljazair dan Inggris ke Mesir pada awal tahun 1800-an memulai interaksi kebudayaan antar dua peradaban. Kebudayaan menjadi salah satu bagian dari pertemuan keduanya. Hingga akhirnya muncul sebutan terhadap Timur Tengah dan segala kebudayaannya dengan penamaan The Orient.

Pandangan The Orient ini memulai permasalahan yang akhirnya menggeser jauh makna tari perut sebagai objek erotis yang terus dieksploitasi hingga hari ini.

Hal tersebut menimbulkan rasa risih pada peserta Wisata Puisi, terutama yang laki-laki. Hingga saat atraksi tari perut berlangsung, mereka mengungsi ke belakang panggung. Memilih duduk di lounge kapal pesiar, menikmati indahnya panorama Nil di malam hari. Kelap-kelip lampu kota Kairo membias di permukaan Nil yang tenang, serupa cahaya bintang-bintang.

Usai atraksi tari perut, kami disuguhi penampilan tari sufi yang dibawakan oleh seorang laki-laki Arab paruh baya, dengan kostum lengkap dari ujung kaki sampai ujung kepala.

Tari sufi adalah sebuah tarian yang berasal dari Turki, dilakukan sambil terus berputar dan berdzikir. Tarian ini merupakan tarian ritual keagamaan aliran sufi dengan tokoh

terkemukanya Jalaludin Rumi. Kemudian tarian ini berkembang tidak saja di Turki, tapi juga ke negara-negara sekitarnya seperti Iran, Pakistan, dan tentu saja Mesir.

Biasanya pakaian yang dikenakan penari sufi berwarna putih, namun pada pertunjukan di Mesir ini pakaian penarinya berwarna-warni dengan pernak-pernik merah, putih, biru, kuning, hijau, dll.

Bagian bawah pakaian penari sufi ini sangat lebar sehingga terlihat seperti rok, dan pada saat berputar terbentuk konfigurasi cantik.

Uniknya lagi, rok tsb bisa dilepas dan juga bisa diputar-putar lagi membentuk semacam piring terbang.

 

Sungguh dibutuhkan keterampilan dan latihan yang sangat baik untuk mencapai tingkat kreasi dan tingkat keseimbangan tubuh seperti penari sufi ini.

Tak lama setelah pertunjukan hiburan ini berakhir, kapal pesiar rombongan Wisata Puisi bersandar di dermaga. Kami pun turun dengan perasaan yang belum pernah disentuh kata-kata.

Setelah itu, kami kembali menaiki bis menuju lokasi kunjungan terakhir hari itu sekaligus puncak acara, yaitu: Pentas Puisi Mesir, bersama mahasiswa Al Azhar Kairo asal Indonesia, berlokasi di sebuah gedung pertemuan dekat kampus Al Azhar.

 

 

(Bersambung)