Screenshot_2025-07-20-21-56-20-13_a27b88515698e5a58d06d430da63049d
Home » Karya » Perjalanan Wisata Puisi Korea, Catatan Hening Wicara (Bagian.3)

Perjalanan Wisata Puisi Korea, Catatan Hening Wicara (Bagian.3)

 

“Seiring usia, muncullah bijaksana. Seiring perjalanan, muncullah pemahaman.” (Sandra Lake).

 

Malam itu, rombongan Wisata Puisi Korea menikmati tidur pulasnya sebagai penggenap tidur malam hari sebelumnya yang berlangsung di udara. Hingga paginya, dering ‘wake up call’ dari pihak hotel menjelma jadi malaikat yang menyelamatkan banyak peserta dari kata ‘terlambat’ akibat bunyi alarm di ponsel terlewat.

Maka, dengan badan bugar dan pikiran segar, rombongan PERRUAS menikmati sarapan di hotel dengan hati-hati. Ada peserta yang hanya mengambil nasi saja, lalu dimakan bersama lauk-pauk bawaan dari kampung halaman, seperti: rendang, kripik paru, ikan teri, dll. Ada pula yang hanya memakan menu-menu aman, seperti telur, salad, dan buah-buahan.

Usai sarapan, rombongan Wisata Puisi Korea dengan riang gembira memasukkan kembali koper-kopernya ke dalam bis, karena hari itu rombongan akan bertolak dari wilayah Sockho menuju destinasi-destinasi wisata lainnya dan menginap di Seoul, ibukota Korea Selatan.

Namun di tengah kegembiraan itu terselip setitik haru yang kelak mungkin mewujud rindu, untuk kembali menginjakkan kaki di wilayah Sockho yang indah.

Ya, Sokcho memang cantik, sebuah kawasan pantai namun terdapat banyak gunung dan bukit. Kotanya tenang, jalanannya lengang, mungkin karena penduduknya jarang.

Selain itu, Sockho cukup dekat dengan perbatasan Korea Utara. Meskipun bukan kota perbatasan, namun lokasinya yang strategis membuatnya relatif dekat dengan Zona Demiliterisasi (DMZ) yang memisahkan Korea Utara dan Korea Selatan. 

Meski demikian, perlu digarisbawahi bahwa ada jarak yang signifikan antara Sokcho dan perbatasan Korea Utara, hingga tidak mungkin bagi warga sipil untuk secara langsung mengunjungi Korea Utara dari Sokcho. Selain itu, zona Demiliterisasi (DMZ) adalah wilayah yang dijaga sangat ketat dan tidak dapat diakses secara bebas oleh masyarakat luas.

Selanjutnya, di pagi yang sejuk itu, rombongan Wisata Puisi mengunjungi destinasi menarik, yaitu: Taman Nasional Seoraksan.

 

Di gerbang Taman Nasional ini, rombongan PERRUAS berfoto bersama dengan spanduk Wisata Puisi Korea. Lalu rombongan berjalan kaki menempuh jalan mendaki sambil menikmati indahnya pemandangan dan segarnya udara pegunungan.

Tak berapa lama, di sisi kanan jalan terlihat patung Budha raksasa atau Grand Bronze Budha. Di sini rombongan kembali berfoto bersama, sebelum dilanjutkan dengan kegiatan syuting video puisi.

Peserta yang mendapat giliran syuting di kawasan taman nasional ini adalah: Suhaemi, Lily Multatuliana, Siti Anisa Nurlimawaty, Seni Handayani, Anggraini, Vironika, Sri Hartati, Sukmana Dewi, dan Verawati.

Selama syuting berlangsung, peserta lainnya menikmati keindahan Seoraksan sambil mengeksplor view-view cantik di sekitarnya. Ada jembatan membentang di atas sungai kering berbatu-batu putih.

Ada pula bangunan cafe yang designnya lebih mirip kuil, berlatar pegunungan dan tebing-tebing hijau yang memukau.

Sebagai taman nasional, Seoraksan menyimpan keanekaragaman hayati yang tersebar di seluruh penjurunya. Beraneka ragam tumbuhan dan hewan liar ada di sini. Selain itu juga terdapat beberapa cagar budaya yang terpelihara selama ratusan tahun. Itu sebab Seoraksan ditetapkan sebagai salah satu Biosphere Preservation District UNESCO.

Di sepanjang jalan besar taman nasional Seoraksan ini sering terlihat tumpukan batu-batu kecil yang ternyata sengaja disusun oleh para wisatawan. Karena di Korea ada pendapat bahwa siapa yang berhasil menyusun batu sampai tinggi ke atasnya, maka keinginannya akan mudah terpenuhi karena didukung semesta.

Entah sudah terbukti atau belum, yang jelas pendapat tersebut tersebar luas melalui drama Korea yang ditonton masyarakat dunia.

Satu jam kemudian, rombongan PERRUAS berjalan kaki menuju Gwongeumseong Fortress, salah satu puncak gunung di Seoraksan yang dapat dicapai menggunakan cable car selama kurang lebih sepuluh menit.

Setibanya di tempat perhentian cable car, rombongan menyaksikan keindahan hamparan hutan, bukit dan tebing-tebing batu di sekitarnya. Di kejauhan, terlihat laut Jepang dan kota Sokcho. Sungai yang dipenuhi batu-batu putih tampak berkelok-kelok membelah kawasan Seoraksan. Sedangkan pohon-pohonnya demikian hijau, menyegarkan mata.

Di dalam Cable Car, Tom, guide Korea yang ramah mengatakan bahwa pemandangan di kawasan taman nasional ini akan jauh lebih menakjubkan saat dikunjungi pada musim gugur. Bukit-bukit akan bertabur warna cerah; kuning, ungu, dan merah sebagai persembahan alam bagi masyarakat Korea.

Bahkan, musim gugur dalam konteks festival juga banyak digelar di Korea. Hal ini bukan hanya sekadar musim bergantinya warna daun, tetapi juga waktu untuk merayakan hasil panen sebagai bentuk terimakasih kepada kekuatan yang telah memberi kelimpahan.

Turun dari Cable Car, rombongan Wisata Puisi bergerak menuju bis 1 dan bis 2 untuk melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya, yaitu toko Ginseng terkemuka di Seoul, bernama: CheongHa Korean Ginseng.

Sementara waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kota Seoul adalah sekitar 2,5 jam. Hal tersebut tentunya menyulut kreativitas para peserta untuk mengisi perjalanan dengan pembacaan puisi-puisi manis di dalam bis.

Ketua rombongan Wisata Puisi Korea, sekaligus pendiri PERRUAS, terpilih sebagai orang pertama yang membacakan puisinya di bis 1, berjudul:

BERTEMU SEOUL

Karya: Asrizal Nur

Aku menemukanmu

Pada sumpit besi

Yang mematahkan sumpit kayu sakura

 

 

Aku menemukanmu

Di rumah industri jadi mesin kehidupan

Ketika banyak pabrik

Satu per satu jadi batu nisan

 

Aku menemukanmu

Pada hentak lagu dan drama tragedi

Jadi cover di setiap sampul si pengejar

mimpi

Kau serupa gadis

Berenda peradaban

Dengan semangat kebudayaan

Melaju mengejar zaman

Seoul – Depok, 2012 – 2025. 

Setelah pak Ketua, puisi-puisi tentang Korea terus mengalir dari bibir para penyair yang tengah jauh dari tanah air.

Akhirnya, kami memasuki kota Seoul, setelah dua jam setengah menjelajah alam Korea yang indah. Di perjalanan siang itu, kami melewati terowongan terpanjang di Korea, lebih dari 60 kilometer.

Sebelum tiba di toko ginseng, rombongan mengisi perut dulu dengan makan siang bersama di sebuah restoran halal, menu kali ini adalah: Bulgogi. Yaitu, hidangan daging sapi khas Korea, dengan rasa manis dan gurih yang dihasilkan dari kaldu daging sebelum dipanggang atau digoreng. Dalam bahasa Korea, Bulgogi berarti “daging di atas api”. Biasanya yang digunakan adalah iga atau sirloin yang diiris tipis.

Bulgogi disajikan dengan nasi putih dan berbagai hidangan sampingan (banchan), seperti: kimchi, acar, tahu, dan rumput laut. Bumbu bulgogi biasanya terdiri dari kecap asin, gula, minyak wijen, bawang putih, dan bahan lainnya yang memberikan rasa khas Korea.

 

(Bersambung)

 

 

 

 

 

 

Tags in